Oh Jiwa Yang Tenang Pulanglah

DI hadapan tubuh Gus Dur yang masih utuh itu, saya tiba-tiba saja teringat kata-kata bijak dalam sebuah buku tasawuf:

“Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasia diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan. Maka jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata (‘Alam al-Musyahadah) di mana para bijak-bestari, kekasih Tuhan, tinggal”.

Ya, itulah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang disayangi dan dicintainya. Ia yang telah membagi cinta kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa gantungan.

Ia yang bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ia yang tak pernah peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia kepadanya.

Ia yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya.

Ia yang tak pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran, cemooh dan sumpah serapah orang kepadanya.

Begitu usai, saya masuk ke bagian dalam rumah yang kamar-kamarnya sudah lama saya hapal, baik yang lama maupun yang sekarang ditempati. Mencari ibu Shinta. Ibu ternyata sudah di dalam kamarnya yang tampak remang, didampingi tiga putrinya, tentu dalam rinai tangis yang mengiris.

Saya tak bisa menemui beliau untuk ta’ziyah, membesarkan hatinya dengan kesabaran dan ketulusan melepas suami tercintanya, orang yang selalu bersamanya dalam suka maupun duka selama berpuluh tahun beribu hari.

Begitu cara berta’ziyah yang saya terima dari pesantren. Saya hanya bertemu Alissa, putri pertamanya dan menyampaikan ta’ziyah itu. Matanya masih tampak lebam dengan wajah sendu, tak bergairah, meski tetap bisa senyum.

Saya diminta mengantarnya untuk melihat ayahnya, membuka tirai tipis yang menutupi wajahnya, lalu membaca tahlil dan berdoa di depan tubuhnya yang tak lagi bisa bergerak-gerak.

Alissa tertunduk lesu dan terisak-isak lirih. Kami melihat dengan jelas wajah Gus Dur, sungguh, tampak ceria, tenang dan teduh.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan Dia menyambut dengan riang”. kepadanya. Amin”. Ayat suci ini saya baca berulang.


Penulis:  KH Husein Muhammad